Riwayat Sunan Bonang, Pendakwah BerGaya ...^^..
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
Menurut tembang/puisi/sajak ini, ada lima macam ” penawar hati”,
atau pengobat jiwa yang ” sakit”. Yakni membaca Al-Quran,
mengerjakan solat tahajud, bersahabat dengan orang saleh,
berzikir, dan hidup prihatin. Inilah pula yang sering dilantunkan
Emha Ainun Nadjib bersama Kelompok Kyai Kanjeng, dalam
sejumlah pergelarannya.
Di luar acara Emha, Tamba Ati hingga kini masih kerap dinyanyikan
sejumlah santri di pesantren/pondok dan masjid di sejumlah desa.
Tapi Cak Nun, demikian Emha biasa disapa, bukan pencipta ” lagu” itu.
Tembang ini adalah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim,
yang lebih dikenal sebagai Sunan Bonang.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati untuk
menarik warga masyarakat agar memeluk Islam. Pada saat berdendang,
pria yang diduga berusia 60 tahun itu menabuh gamelan dari kuningan,
yang dibuat oleh sejumlah warga Desa Bonang, Jawa Timur. Nama
desa inilah yang kemudian melekat pada gelar sang Sunan.
Meski terampil, Sunan Bonang bukan putra penabuh gamelan. Ia justru
putra Sunan Ampel, yang menikah dengan Condrowati, alias Nyai
Ageng Manila. Nyai Ageng merupakan anak angkat Ario Tedjo,
Bupati Tuban. Tidak ada catatan mengenai tanggal kelahiran Raden
Makdum. Diduga, ia lahir di daerah Bonang, Tuban, pada 1465.
Sunan Ampel semula memberi ia nama Maulana Makdum. Nama ini
diambil dari bahasa Hindi, yang bermakna cendekiawan Islam yang
dihormati karena kedudukannya dalam agama. Semasa kecil, Sunan
Bonang sudah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan
disiplin yang ketat. Tak heran jika dia pun, kemudian, terhisab
ke dalam Wali nan Sembilan.
Sunan Ampel kemudian mengirim Sunan Bonang ke Negeri Pasai, Aceh
masa kini. Di sana Sunan Bonang menuntut ilmu pada Syekh Awwalul
Islam, ayah kandung Raden Paku alias Sunan Giri. Bersama Raden
Paku, ia juga belajar dengan sejumlah ulama besar yang banyak
menetap dan mengajar di Pasai, seperti ulama ahli tasawuf dari
Baghdad, Mesir, dan Iran.
Pulang dari menuntut ilmu, Sunan Bonang diminta Sunan Ampel
berdakwah di Tuban, Pati, Pulau Madura, dan Pulau Bawean di utara
Pulau Jawa. Seperti halnya Raden Paku alias Sunan Giri, yang
mendirikan pesantren/pondok di Gresik, Sunan Bonang juga mendirikan
pesantren di Tuban.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap menggunakan kesenian rakyat
untuk menarik simpati masyarakat, antara lain dengan seperangkat
gamelan Bonang. Bila dipukul dengan kayu lunak, bonang itu
melantunkan bunyi yang merdu. Bila Sunan Bonang sendiri yang
menabuhnya, gaung sang bonang sangat menyentuh hati para
pendengarnya.
Masyarakat yang mendengarnya berbondong-bondong datang ke masjid.
Sunan Bonang lalu menerjemahkan makna tembangnya. Karena kekuatan
suaranya itu pula, Sunan Bonang juga mendapat julukan lain: Sang
Mahamuni. Tembang itu berisi ajaran Islam, sehingga tanpa sengaja
mereka telah diberi penghayatan baru.
Pada masa itu, daerah Bonang masih berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Majapahit, yang mayoritas/majoritinya dan ”resmi”
beragama Hindu. Kebetulan, para penganut Hindu ketika itu sangat
akrab dengan musik gamelan. Pengaruh gendingnya cukup melegenda.
Bahkan gamelan itu telah menjadi bagian dari cerita kesaktian Sunan
Bonang.
Misalnya dikisahkan, ia pernah menaklukkan Kebondanu, seorang
pemimpin perampok, dan anak buahnya, hanya menggunakan tembang
dan gending Dharma dan Mocopat. Begitu gending ditabuh, Kebondanu
dan anak buahnya tidak mampu menggerakkan tubuhnya.
” Ampun… hentikan bunyi gamelan itu. Kami tak kuat,” begitu konon
kata Kebondanu.
Setelah diminta bertaubat, Kebondanu dan gerombolannya pun menjadi
pengikut Sunan Bonang. Tapi, kesaktian Sunan Bonang tak hanya
terletak pada gamelan dan gaungnya. Cerita lain mengisahkan seorang
brahmana, yang berlayar dari India ke Tuban. Tujuannya, ingin
mengadu/beradu kesaktian dengan Sunan Bonang.
Namun, sebelum mendarat di Tuban, kapalnya dihajar ombak.
Akibatnya, kitab-kitab kesaktiannya hanyut terbawa air. Beruntung,
sang brahmana berhasil mencapai pantai. Di tepian laut itu ia berjumpa
dengan seorang pria berjubah putih. Kepada pria itu ia menyatakan
ingin berjumpa dengan Sunan Bonang untuk menguji kesaktian.
Tapi, demikian katanya, ia tak lagi mampu melakukannya, karena
semua kitabnya sudah ghaib di telan ombak. Pria berjubah itu mencabut
tongkatnya yang tertancap di pasir pantai. Air muncrat dari lobang
bekas tongkat itu… bersama semua kitab sang brahmana. Setelah
pria tadi menyebut namanya, yang tiada lain daripada Sunan Bonang,
Brahmana itu berlutut.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan
Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak.
Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala
tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan
Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak.
Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat
Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga
diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi
Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat
keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang
” pengadilan” yang dipimpinnya.
Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias
Syekh Lemah Abang. Lokasi ” pengadilan” itu sendiri punya dua versi.
Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan,
Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan
di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang juga berperanan dalam
pengangkatan Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah
kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari
Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh
Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi
JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama:
tasawuf, ussuludin, dan fikih.
Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting
karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan
dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut
Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar
zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: Dunia,
hawa Nafsu, dan Setan.
Untuk menghindari ketiga ”musuh” itu, manusia dianjurkan jangan
banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan
bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap
dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan.
Menurut Gunning dan Schrieke, nashkah ajaran Sunan Bonang
merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih lengkap.
Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak
begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang
berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik
Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan
dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang,
Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau
mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu.
Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah
kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean,
” mencuri” jenazah sang Sunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang
tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean ! Karena itu, sampai
sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau
Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban,
Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga
lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.
Sumber : sunatullah.com
tuliskanakuhadith.blogspot.com
Norshahuddin Edited Mac 2014...^^..
No comments:
Post a Comment