Monday, 18 August 2014

Proses Pembelajaran Gaya Penjajah Dan Tempatan...^^..

Proses Pembelajaran Gaya Penjajah Dan Tempatan...^^..

" BUDAYA PARA PENJAJAH YANG BERGUNA DAN BERMANFAAT
TIDAK PERNAH DI TERAPKAN UNTUK ANAK-ANAK BANGSA
MEREKA SENDIRI, TETAPI BUDAYA MENGHUKUM, MENGHAKIMI
DAN MELABEL MURID LEMAH DIGUNAKAN PARA PENDIDIK
TEMPATAN, MALAH TIDAK PULA  CUBA MEMBINA  MEREKA."


*** Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru
sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya
seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna,
hebat, bagus sekali.

Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan
kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang
terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya
dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa ? Apa tidak salah
memberi nilai ? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan ?
Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya
cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya
singkat. “ Maaf Bapak dari mana ?” “ Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.


*** BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup
saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan
membangun masyarakat. “ Saya mengerti,” jawab ibu guru yang
wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.

“ Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-
anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “ Di negeri Anda, guru sangat sulit
memberi nilai. Filosofi kami menDidik di sini bukan untuk menghukum,
melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement ! ”

Dia pun melanjutkan argumentasinya. “ Saya sudah 20 tahun
mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu,
baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya
dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk
karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat
mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat
betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang
nilai “ A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir
balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap
menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya
dengan mudah. Pertanyaan mereka memang sangat serius dan
membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat
sangat bersahabat.

Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan,
melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu
jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan
menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan
mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya
saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan”
mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan
pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan
berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik
batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa
menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut
hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan
encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa
diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya
tidak hebat-hebat betul.

Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji
dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak
didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi
penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah
Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara
akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang
membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan
saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan
kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh
kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika
yang ditulis dalam bentuk verbal. Anak-anak Indonesia yang baru
tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai
merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja
lebih keras, seperti berikut. “ Sarah telah memulainya dengan berat,
dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah
menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan
mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah
rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent
(sempurna), tetapi saya mengatakan “ Gurunya salah”. Kini
saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.


*** MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang- orang hebat dengan cara menciptakan
hambatan dan rasa takut ? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi
yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan, pemukul, tangan
bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan
keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan
dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau…; Nanti…;
dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian
dan rapor atau buku laporan di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat
kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa
mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan
baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis,
melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat
tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan
(dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan
demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat
menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan
ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah
bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan
menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju,
bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-
nakuti. Bawalah manfaat bagi anak-anak kita dan generasi bangsa
lainnya.

tuliskanakuhadith.blogspot.com
Norshahuddin Edited Ogos 2014...^^..

No comments:

Post a Comment